Pelaku Pencemaran Limbah B3 Blok Rokan Harus Tanggungjawab

Pelaku Pencemaran Limbah B3 Blok Rokan Harus Tanggungjawab

Metroterkini.com - Ahli Lingkungan Hidup Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Riau, Dr Elviriadi menegaskan tanggungjawab pemulihan fungsi lingkungan hidup akibat pencemaran, merupakan kewajiban siapa yang melakukan pencemaran.

Hal tersebut ditegaskan Elviriadi di persidangan Gugatan Lingkungan Hidup yang diajukan Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI), Selasa (31/5/2022) di PN Pekanbaru.

"Setiap yang mencemari harus memulihkan, harus membayar biaya pemulihan. Harus menghentikan pencemaran," terang Elviriadi di ruang sidang.

Selain itu, ia juga menegaskan, adanya peran dan kewajiban menteri, gubernur, bupati dan walikota dalam hal pengawasan lingkungan hidup. "Bahkan mereka bisa dipidana bila tidak melakukan pengawasan," tutur Elviriadi.

Lebih lanjut Elviriadi menjelaskan, dalam pengelolaan usaha apa pun, pelaku usaha mesti berkomitmen tinggi terhadap lingkungan hidup.

"Mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian proses usaha, harus berkomitmen terhadap lingkungan. Harus taat pada aturan pengelolaan lingkungan," ungkap Elviriadi.

Selain itu, Elviriadi juga menegaskan dumping atau pembuangan limbah di luar ketentuan peraturan perundang undangan, bisa berdampak luas dan berakibat pada manusia.

"Dumping mesti lah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Jika dilakukan di liar ketentuan, bisa mengakibatkan dampak yang luas terhadap lingkungan," beber Elviriadi.

Lebih lanjut, dikatakan Elviriadi, sesuai Pasal 60 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009, pembuangan limbah harus memenuhi kriteria tertentu. "Jika tidak memenuhi kriteria yang ada, maka tidak boleh limbah dibuang sembarangan. Karena akan mengganggu fungsi tanaman, tata air serta terjadinya pencemaran air permukaan,merusak ekosistem," terang Elviriadi.

Sementara itu, mengenai peran serta masyarakat dalam pengawasan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Elviriadi menerangkan, Pasal 70 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 menjamin dan memberikan peran kepada masyarakat ikut mengawasi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Terkait dengan industri, Elviriadi menerangkan, termasuk industri Migas, harus memiliki standar operasional prosedur (SOP) dalam teknologi pengolahan limbah. Termasuk di dalamnya, tempat pengelolaan, cara pengangkutan, serta SOP yang memastikan agar pengelolaan limbah tetap terukur sesuai baku mutu.

"Sehingga tiga aspek dapat tercapai, keuntungan bagi industri, sosial masyarakat dan lingkungan tetap terpelihara fungsi lingkungan hidupnya. Jika tidak, negara dapat memberikan sanksi administrasi, paksaan, pencabutan izin parsial, atau pencabutan izin secara total," terang Elviriadi.

Menurut Elviriadi, polutan jika tidak ditangani sesuai SOP dan peraturan, maka bisa menjadi bom waktu bagi lingkungan hidup. Dampaknya pun tergantung pada jumlah penduduk yang akan terdampak serta intensitas serta lamanya polutan tersebut mencemari lingkungan tersebut.

Lebih lanjut Elviriadi mengutarakan, ia berpendapat saat ini negara belum menerapkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan secara baik. "Akibatnya saat ini terjadi kemerosotan lingkungan hidup yang pada saat ini bahkan sudah menjadi keresahan secara global. Kemerosotan lingkungan ini juga menjadi beban masa depan bangsa," ungkap Elviriadi.

Oleh sebab itu, lanjut Elviriadi, Undang Udang Nomor 32 Tahun 2009 memperkuat perlindungan lingkungan. "Kata perlindungan menjadi lebih diutamakan dalam undang undang ini," ungkap Elviriadi.

Elviriadi juga menegaskan di persidangan tersebut, masyarakat sipil mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat. Hal tersebut sudah menjadi kesepakatan dan ditegaskan dalam berbagai konvensi-konvensi tingkat dunia.

Sehingga, kata Elviriadi, jika terjadi pencemaran, negara harus hadir untuk mengatasi pencemaran. "Semua pihak juga harus sportif terhadap undang undang. Kalau tak sportif, maka warga negara tidak bisa menjadi baik dan sehat," ungkap Elviriadi.

Mengenai pemulihan pencemaran fungsi lingkungan hidup, Elviriadi menerangkan, harus ada skema yang tuntas untuk tahapan pemulihan. "Prinsip pemulihan harus memenuhi kaidah-kaidah yang ada, sehingga betul-betul aman dengan terpenuhinya prinsip-prinsip pemulihan fungsi lingkungan hidup," kata Elviriadi.

Menurut Elviriadi, aspek penting pemulihan fungsi lingkungan hidup antara lain adanya pemutusan pencemaran, bioremediasi serta reklamasi. "Fungsi lingkungan hidup bisa dikatakan pulih apabila setelah mendapatkan persetujuan dari regulator serta masyarakat puas dan tanaman-tanaman pun bisa kembali tumbuh dengan normal," ungkap Elviriadi.

Sementara itu, LPPHI juga memandang, selang hampir satu tahun peralihan pengelola WK Migas Blok Rokan dari Chevron ke PT Pertamina Hulu Rokan, ratusan lokasi limbah bahan berbahaya beracun (B3) tanah terkontaminasi minyak (TTM) belum ada yang dipulihkan.

LPPHI juga memandang, hal tersebut berarti seluruh peraturan perundang undangan telah terabaikan serta telah dilanggar secara kasat mata.

Mengenai Perkara Gugatan Lingkungan Hidup ini, tercatat disidangkan di PN Pekanbaru dengan Nomor 150/PDT.G/LH/2021/PN.Pbr. Gugatan terdaftar pada 6 Juli 2021. Sidang dipimpin Hakim Ketua DR Dahlan SH MH.

Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI) merupakan lembaga penggugat perkara ini. LPPHI menurunkan lima Kuasa Hukum dalam gugatan itu. Kelimanya yakni Josua Hutauruk, S.H., Tommy Freddy Manungkalit, S.H., Supriadi Bone, S.H., C.L.A., Muhammad Amin S.H.,dan Perianto Agus Pardosi, S.H. Kelimanya tergabung dalam Tim Hukum LPPHI.

Sementara itu, PT Chevron Pacific Indonesia, SKK Migas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau merupakan para tergugat dalam perkara ini.[rls]

Berita Lainnya

Index